Monday 5 December 2016

Alah Bisa Karena Biasa

"One step forward at a time"

Membiasakan diri bertransaksi secara non-tunai
-->I Am #LessCashSociety
Ketika Setiadi, warga Depok, mencoba membeli sebuah motor CBR 150R dengan menggunakan koin, dia sempat mengalami penolakan di beberapa dealer.

Alasannya sederhana, koin tersebut dianggap merepotkan karena harus dihitung satu-persatu hingga mencapai jumlah yang diinginkan.
Jika melihat pada nilainya, uang koin tak ubahnya dengan uang kertas, hanya saja, bentuknya yang kurang praktis serta nominalnya yang kecil membuatnya lebih pas untuk penggunaan transaksi dalam jumlah kecil.
Keduanya sama-sama dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) dan diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Bahkan penggunaannya diatur dalam UU No. 7 Pasal 23 sehingga setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah.
Namun, jika berkaca pada kejadian tersebut, faktor-faktor kenyamanan dan kemudahan seringkali membuat warga enggan menggunakan atau mengurangi fungsi nilai jenis uang tertentu. Contoh lainnya, gunakan uang kertas Rp100.000 untuk membeli sebuah permen di warung dan Anda akan mendapat gerutuan dari sang penjual.
Solusinya yang kini sedang digalakkan oleh Bank Indonesia adalah Gerakan Nasional Non Tunai. Ditujukan untuk mendampingi (bukan menggantikan) peran uang kartal (uang kertas dan logam), solusi Layanan Keuangan Digital (LKD) ini tepat guna ketika diimplementasikan pada transaksi yang terjadi di dunia digital maupun secara langsung.
Dari segi kemudahan, sistem LKD ini memang belum sempurna. Jika dengan uang kartal Anda hanya membutuhkan kejelian dalam melihat keaslian uang serta menghitung nilainya sesuai dengan jumlah barang, maka LKD memerlukan usaha lebih -dari pihak pengguna maupun penjual barang dan jasa.
Sebagai penjual, banyaknya sistem LKD yang tersedia membuat mereka harus menyediakan -atau bekerjasama- dengan masing-masing penyedia LKD. Ada Bank Swasta, Bank Pemerintah, hingga layanan khusus pihak ketiga.
Tak lupa, sang penjual juga perlu menyediakan alat untuk membaca kartu, stiker, serta sistem khusus yang disediakan.
Di dunia, persaingan LKD secara fisik didominasi oleh nama-nama seperti Apple Pay, Android Pay, Microsoft Wallet dan Samsung Pay untuk layanan berbasis ponsel, serta PayPal, Visa, dan Master Card untuk layanan berbasis ponsel maupun kartu.
Kalau mau diibaratkan dengan uang kartal, masing-masing penyedia LKD mengeksklusifkan diri pada penjual dan konsumen tertentu, sementara standarisasi di antara semuanya tidak ada.
Di Indonesia, kejadian serupa juga terjadi. Dua yang cukup popular adalah BCA dengan Flazz dan Mandiri dengan e-Money. Padahal, pemegang lisensi uang elektronik yang dikeluarkan oleh BI ada 21 perusahaan.
Jika dibilang terlalu banyak, BI tentu memerlukan sebanyak mungkin vendor penyedia. Meski ujungnya, penggunaan uang elektronik tersebut menjadi tersaturasi di pasar.
Solusi untuk memudahkan tentu ada. Pertama, dengan membuat sebuah sistem yang menerima penggunaan uang elektronik dari semua penyedia LDK dan berlisensi BI.
Tidak sulit sebenarnya, karena sudah ada contoh yang nyata yakni diterimanya kartu uang elektronik dari banyak penyedia LDK untuk kereta komuter, Transjakarta, dan Tol.
Selanjutnya, BI hanya perlu menggalakan penerimaan tersebut ke penyedia layanan lainnya, dan jika dirasa perlu, melarang eksklusivitas salah satu pemilik lisensi saja.

Teknologi yang masif seperti smartphone bisa dimanfaatkan untuk GNNT

Transaksi Non-Tunai seharusnya bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja

Solusi kedua adalah dengan menggalakkan alat penerima transaksi elektronik hingga ke level transaksi terkecil. Di negara maju, konsep ini diterapkan dengan membuat sebuah alat mungil yang dihubungkan dengan ponsel pintar. Ditujukan untuk menggantikan mesin EDC, transaksi dengan kartu kredit maupun kartu debit bisa dilakukan kapan saj. Praktis dan mudah.

Melihat penetrasi ponsel pintar yang sudah sangat masif di Indonesia, wajar kiranya alat sejenis juga dihadirkan untuk transaksi non-tunai, sesuai dengan regulasi dari BI. Dengan demikian, pengguna kartu uang elektronik bisa lebih leluasa dan tentunya akan lebih memilih bertransaksi secara non-tunai.
Dengan diterapkannya dua solusi tersebut, Anda tak perlu lagi membawa uang banyak di kantong atau dompet. Transaksi-transaksi kecil yang biasa Anda lakukan; seperti membeli nasi goreng di pinggir jalan, membeli gula dan telur di warung, hingga menikmati semangkuk bubur kacang hijau di warung burjo favorit, semuanya bisa dilakukan secara non-tunai.
Semoga lekas terlaksana. (*)

No comments:

Post a Comment